19 Maret 2008

Konsep Perilaku Kekerasan

Pengertian Perilaku Kekerasan
(Sumber: Buku Keperawatan Jiwa)
oleh Iyus Yosep, S.Kp., M.Si. (dosen Keperawatan Jiwa FIK UNPAD)

Patricia D. Barry (1998: 140), menyatakan:
Agression: An emotion compounded of frustration and hate or rage. It is an emotion deeply rooted in every one of us, a vital part of our emotional being that must be either projected outward on the environment or inward, destructively, on the self.
Suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari keadaan emosi seara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, ke dalam diri, atau secara destruktif.
Agresi berkaitan dengan trauma pada masa anak, pada saat merasa lapar, kedinginan, basah, atau merasa tidak nyaman. Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi secara terus-menerus, maka ia akan menampakkan reaksi berupa menangis, kejang, atau kontraksi otot, perubahan ekspresi warna kulit, bahkan mencoba menahan napasnya.

Faktor Predisposisi
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan:
1. Faktor Psikologis
Psychoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Kesatu insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-agression theory; Teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut:
· Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu untuk menyelesaikan secara efektif.
· Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak, atatu seduction parental, yang mungkin telah merusak hubungan saling percaya dan harga diri.
· Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atatu mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.

2. Faktor Sosial Budaya
Social Learning Theory, Teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan, maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau eksternal. Contoh internal: orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut, seorang anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti marah. Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh eksternal: seorang anak menunjukkan perilaku agresif setelah melihat seorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima, sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.


3. Faktor Biologis
Ada bebrapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis.
Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik) binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif. Perangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menerkan tikus atau objek yang ada di sekitarnya. Jadi kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan memori).
Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin, norepinefrin, asetilkolin, dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung:
· Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
· Sering mengalami kegagalan
· Kehidupan yang penuh tindakan agresif
· Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).

4. Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal. Contoh stresor eksternal: serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh dari stresor internal: merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.
Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yakni:
· Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
· Lingkungan: ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik interaksi sosial.